Chairil Muda, Ikon Kemerdekaan Jiwa
"Sekali berarti, sudah itu mati" kata Chairil dalam puisi Diponegoro. Kalau saja Chairil masih hidup dan menyaksikan keabadiannya, mungkin ia akan merevisi salah satu bait tersebut menjadi "Sekali berarti, sudah itu abadi."
Chairil masih jadi ikon pembaruan sastra Indonesia, meski sudah puluhan tahun setelah hari kematiannya, 28 April, yang sempat digaungkan sebagai hari sastra menuai banyak penolakan. Puisi-puisi Chairil bukanlah diyakini sebagai masa lampau, melainkan sebagai masa depan bagi para pencipta yang bermimpi dapat menembus masanya seperti yang Chairil lakukan. Chairil dikenal bukan saja lewat karya-karya bernada heroik, romantik, pesimistis, dan liar, Chairil dikenal sebagai penggambaran utuh dari sosok seniman. Bohemian, kekurangan uang, kurang tidur, penyakitan, tidak memiliki pekerjaan tetap menggenapi stereotip seorang penyair pada masa itu.
Karya-karya Chairil yang terlempar jauh dari jamannya, mampu memangkas batas geografis dan liar menggoda puluhan sastrawan untuk mengulasnya. Chairil sudah bukan lagi sekali berarti, sudah itu mati. Tapi ia melampaui ekspektasi dirinya sendiri, sekali berarti, sudah itu abadi. Kekekalan nama Chairil yang mati muda di usia yang belum genap 27 tahun, barangkali menjadi bukti bahwa kitalah generasi yang susah move on. Generasi yang sukar mencipta, betah menjadi ekor. Generasi yang terlalu aktif dalam mengkultuskan nama tokoh-tokoh besar, sampai lupa percaya diri. Kenyataan hari ini, puisi-puisi tak lebih berharga daripadi quote galau selebgram atau kultwit nyinyir selebtwit. Secara konteks, karya Chairil sudah tidak relevan dengan zaman bukan? Aan Mansyur menjadi nama penyair yang paling mutakhir muncul di telinga khalayak karena puisi-puisi indivudualisnya, bukan karena puisi-puisi perjuangan.
Chairil masih jadi ikon pembaruan sastra Indonesia, meski sudah puluhan tahun setelah hari kematiannya, 28 April, yang sempat digaungkan sebagai hari sastra menuai banyak penolakan. Puisi-puisi Chairil bukanlah diyakini sebagai masa lampau, melainkan sebagai masa depan bagi para pencipta yang bermimpi dapat menembus masanya seperti yang Chairil lakukan. Chairil dikenal bukan saja lewat karya-karya bernada heroik, romantik, pesimistis, dan liar, Chairil dikenal sebagai penggambaran utuh dari sosok seniman. Bohemian, kekurangan uang, kurang tidur, penyakitan, tidak memiliki pekerjaan tetap menggenapi stereotip seorang penyair pada masa itu.
Karya-karya Chairil yang terlempar jauh dari jamannya, mampu memangkas batas geografis dan liar menggoda puluhan sastrawan untuk mengulasnya. Chairil sudah bukan lagi sekali berarti, sudah itu mati. Tapi ia melampaui ekspektasi dirinya sendiri, sekali berarti, sudah itu abadi. Kekekalan nama Chairil yang mati muda di usia yang belum genap 27 tahun, barangkali menjadi bukti bahwa kitalah generasi yang susah move on. Generasi yang sukar mencipta, betah menjadi ekor. Generasi yang terlalu aktif dalam mengkultuskan nama tokoh-tokoh besar, sampai lupa percaya diri. Kenyataan hari ini, puisi-puisi tak lebih berharga daripadi quote galau selebgram atau kultwit nyinyir selebtwit. Secara konteks, karya Chairil sudah tidak relevan dengan zaman bukan? Aan Mansyur menjadi nama penyair yang paling mutakhir muncul di telinga khalayak karena puisi-puisi indivudualisnya, bukan karena puisi-puisi perjuangan.
Saya mengagumi Chairil yang telah berhasil membuktikan mantra "aku ingin hidup seribu tahun lagi"
dengan hidup di buku-buku ajaran dan masih saja dikenal di
generasi-generasi setelahnya. Saya pun menaruh hormat kepada sosok ini,
karena kepercayaannya terhadap diri sendiri. Ialah salah satu yang
merdeka dalam menentukan jalan hidupnya. Siapa yang pernah mendatangi
ayah dari gadis yang dicintainya hanya dengan membawa setumpuk
kertas-kertas puisi? Kepercayaan Chairil terhadap puisi-puisinya bahkan
membuatnya berani melamar gadis dengan modal.. puisi! Sangat utopis
kemungkinan si Bapak gadis itu menerima lamaran Chairil. Dan, benar,
Chairil memang ditolak. Namun penolakan-penolakan orang-orang terhadap
mimpinya itu tak banyak mempengaruhi tekad Chairil. Penyair yang tak
sampai memiliki 100 karya itu tetap setia terhadap apa yang ia yakini
benar: hidup dengan hanya mengandalkan puisi! Padahal teman-teman
penyairnya yang lain sudah hidup layak dengan selingkuh menjadi
jurnalis surat kabar. Chairil muda masih setia dengan kedua tangan
memegang buku-buku puisi sebagai referensi karyanya, dengan mata merah,
dengan pipi tirus, badan kurus, kurang makan, kurang tidur.
Hidup
melajang dengan kesetiaan dan idealisme terhadap mimpi dan prinsip
barangkali menjadi nilai yang nyaris sempurna. Tetapi hidup berkeluarga
sambil teguh mempertahankan idealisme barangkali adalah sikap yang
mendekati egois. Perceraiannya dengan Hapsah Wiriaredja di usia
pernikahan yang amat muda adalah hal yang patut disayangkan. Apalagi ada
desas-desus yang mengatakan bahwa perceraian mereka dipicu oleh
ketidaksamaan prinsip.
Chairil yang masih bohemian dengan karakter khas seniman lainnya yang sulit diterima Hapsah sebagai istri yang realistis -bahwa hidup butuh makan, bukan puisi. Sampai pada perceraiannya, puisi-puisi Chairil belum dibukukan dan dijual komersil, penghasilannya hanya dari honor puisi yang terbit di surat kabar atau majalah. Konon di ujung pernikahannya Chairil sudah berusaha menyakinkan Hapsah bahwa sebentar lagi buku puisinya akan terbit, dan dengan begitu mereka bisa hidup layak. Namun lagi-lagi Chairil menjadi satu-satunya orang yang percaya terhadap mimpinya sendiri. Bahkan demi mempercayai mimpinya ia harus berpisah dengan istri dan anak semata wayangnya, Eva kecil, yang masih berusia satu tahun.
Chairil yang masih bohemian dengan karakter khas seniman lainnya yang sulit diterima Hapsah sebagai istri yang realistis -bahwa hidup butuh makan, bukan puisi. Sampai pada perceraiannya, puisi-puisi Chairil belum dibukukan dan dijual komersil, penghasilannya hanya dari honor puisi yang terbit di surat kabar atau majalah. Konon di ujung pernikahannya Chairil sudah berusaha menyakinkan Hapsah bahwa sebentar lagi buku puisinya akan terbit, dan dengan begitu mereka bisa hidup layak. Namun lagi-lagi Chairil menjadi satu-satunya orang yang percaya terhadap mimpinya sendiri. Bahkan demi mempercayai mimpinya ia harus berpisah dengan istri dan anak semata wayangnya, Eva kecil, yang masih berusia satu tahun.
Saya
menarik sebuah kesimpulan bahwa betapa mahalnya harga rasa percaya
terhadap mimpi kita sendiri. Kalau saja Hapsah mau memberi tenggat waktu
sedikit saja kepada Chairil untuk membuktikan kepercayaanya itu,
mungkin perceraian meraka tidak akan terjadi. Karena selang beberapa
waktu saja dari perceraian dan kematian Chairil, buku kumpulan puisi
pertamanya sungguhan terbit. Bahkan dicetak puluhan kali sampai hari
ini. Chairil sudah abadi dalam buku-buku puisinya. Bagi saya Chairil
bukan sekedar ikon sastra, ia adalah ikon kemerdekaan terhadap jiwa.
Sebelumnya, saya pernah merefleksikan buku karya Mochtar Lubis yang
begitu membalik perspektif saya terhadap kebebasan dalam tulisan Jalan Tak Ada Ujung: Mempertanyakan Arti Kebebasan.
Jiwa Chairil yang begitu bebas untuk percaya sepenuhnya terhadap apa
yang ia yakini benar, terhadap mimpinya. Meski hanya dirinya sendiri
yang pecaya, di tengah kesinisan orang-orang terhadap mimpinya.
Kemerdekaan jiwa ini akhirnya membuat alam bawah sadar Chairil untuk
terus loyal terhadap puisi. Penyematan sebagai Bapak Puisi Nasional
rasanya tidak berlebihan bagi Chairil. Meski pengkultusan dirinya
sebagai masterpiece penyair memang sudah tidak lagi relevan
dengan zaman. Tapi untuk sekedar mengapresiasi Chairil sebagai ikon
kemerdekaan jiwa yang begitu setia percaya terhadap pilihan hidupnya,
rasanya masih relevan.
Pengalaman
pribadi akhirnya membuat saya berkesimpulan bahwa saat-saat yang paling
menyedihkan itu bukan ketika kita kehilangan rasa percaya diri, tetapi
saat kita begitu percaya terhadap mimpi-mimpi kita namun tak ada satupun
orang lagi yang percaya. Sekalipun orang-orang terdekat. Persis seperti
yang menimpa Chairil, bahkan Hapsah pun, seorang yang ia sanding untuk
hidup bersama, menyangsikan mimpinya. Saya pikir ini adalah ujian yang
paling berat. Bagaimana tetap setia terhadap mimpi-mimpi yang kita
percaya, di saat tidak ada satu pun yang bersedia untuk percaya. Mungkin
tidak akan pernah ada pesawat buatan dalam negeri jika kala itu Bu
Ainun menyangsikan mimpi-mimpi Pak Habibie.
Kadang-kadang hidup sesederhana memilih untuk percaya.. atau tinggalkan?
Sulit
memang untuk memilih percaya di saat satu persatu orang-orang
terdekatmu meninggalkanmu karena kesangsiannya terhadap mimpi-mimpi yang
kamu yakini sebentar lagi terwujud.
Chairil,
terima kasih untuk kisah hidup yang menjadi inspirasi bagi saya, bahwa
sekali memutuskan untuk percaya terhadap mimpi, kita harus setia
selamanya. Atau tinggalkan sama sekali.
Semoga bukan sebuah dosa bagi saya yang sedikit memelesetkan salah satu quote
keren Bung Karno, menjadi:
"BangsaManusia yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatubangsaindividu, tidak dapat berdiri sebagaibangsamanusia yang merdeka."
Bagaimana mungkin kita bicara jauh soal kemerdekaan, padahal jiwa kita
sendiri tidak merdeka?
Depok,
17 Agustus 2016
-diaz yang sedang berada dalam jurang antara kepercayaan dan ketidakpercayaan
(baca juga artikel saya tentang pensil dan ide: Ide dan Kreativitas dalam Lintasan Zaman)
(baca juga artikel saya tentang pensil dan ide: Ide dan Kreativitas dalam Lintasan Zaman)
Tidak ada komentar