Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara: Belajar Memeram Ide dari SGA
“KETIKA
jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme
bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran. Fakta-fakta bisa
diembargo, dimanipulasi, atau ditutup dengan tinta hitam, tapi kebenaran
muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan. Jurnalisme terikat oleh
seribu satu kendala, dari bisnis sampai politik, untuk menghadirkan
dirinya, namun kendala sastra hanyalah kejujurannya sendiri. Buku sastra
bisa dibredel, tetapi kebenaran dan kesusastraan menyatu bersama udara,
tak tergugat dan tak tertahankan.“ kutipan esai Seno Gumira
Ajidarma (SGA) berjudul Kehidupan Sastra di Dalam Pikiran," yang pertama
kali dipublikasikan oleh Harian Kompas, Minggu, 3 Januari 1993.
Cover Edisi Pertama tahun 1997 |
SGA
seakan mengalami proses ‘pemeraman ide’ selama rentang waktu enam
tahun. Dihitung sejak esai "Kehidupan Sastra di Dalam Pikiran" terbit
tahun 1993 sampai tahun 1999, tahun saat ia menulis esai untuk
mengkiritisi idenya sendiri dalam esai terdahulu. Lewat esai “Fiksi,
Jurnalisme, Sejarah: Sebuah Koreksi Diri (1)” ia mengakui bahwa adanya
kepercayaan yang berlebihan bahwa sastra mampu menggenggam kebenaran. Ia
mematahkan paragraf di esai terdahulunya, terkhusus pada
kalimat-kalimat dalam paragraf yang saya kutip diawal tulisan ini.
SGA
kembali berpikir soal definisi dan batasan-batasan kebeneran itu
sendiri. Kebenaran yang begitu terdengar amat suci ditelinga kita,
kebenaran yang membuat orang berbuat apa saja untuk memperjuangkannya.
Ia menulis:
“Kebenaran
ternyata tidak pernah bisa digiring. Dalam usaha mencapai pengertian
itu, saya hampir selalu sampai kepada kondisi ketercakra-walaan manusia:
saya tidak akan pernah mampu menengok seberang cakrawala itu, sedangkan
apa yang saya ketahui antara diri saya sampai di batas cakrawala itu,
seberapa ilmiah pun, hanyalah merupakan pengetahuan manusiawi — dan saya
tak pernah tahu pasti seberapa jauh sudut pandang manusiawi ini sahih,
meskipun untuk secuil saja dari kebenaran itu.”
Dalam
esai tersebut SGA juga menekankan bahwa kebenaran semestinya diberi
tanda kurung. Mengingat ketercakrawalaan kita yang memang terbatas.
Sebagai salah satu founding father harian Jakarta-Jakarta
(JJ) yang hidup di iklim Orba, menjadi wartawan yang berusaha mendetail
adegan penembakan oleh militer di pemakaman Santa Cruz pada insiden
Dili (1991), barangkali dianggap sebagai bentuk jurnalisme yang radikal.
Sehingga SGA yang menuliskan ‘berita detail’ tersebut harus membayar
keradikalan tulisannya itu dengan di non-job kan selama
berbulan-bulan. Sementara dua orang peliput lainnya yang satu tim dengan
SGA di demosi dan dipindah tugaskan ke media lain. Dalam masa non-job itu
SGA berpikir kreatif tentang bagaimana fakta-fakta tetap bisa disajikan
meski mengalami kebuntuan lewat jalur jurnalisme. Maka lahirnya secara
sporadis cerpen-cerpen SGA yang menyelundupkan fakta-fakta ke dalam
fiksi: satu-satunya cara untuk menyelamatkan kebebasannya. Meski begitu
mirip dengan fakta dan aktualitas suatu peristiwa di tempat tertentu,
siapa yang bisa menggugat karya fiksi?
Dalam
salah satu esainya pula, SGA ‘menyindir’ dengan halus cerpen-cerpen
populis yang hanya sebagai ‘bedak-bedak hiasan’. Lulabi yang berada jauh
di pelupuk mata dan meninggalkan problematika sosial yang ada di depan
mata sendiri. Esai-esai SGA tersebut saya baca dalam buku kumpulan esai
berjudul “Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara”. Buku tersebut diterbitkan pertama kali tahun 1997 oleh Yayasan Bentang Pustaka. Dengan perbaruan cover
dan pembaruan kata pengantar, edisi kedua buku tersebut dicetak tahun
2005, esai-esai yang diterbitkan masih sama dengan edisi pertama.
Rentang waktu yang cukup lama untuk memastikan sebuah buku provokatif untuk
menyastra harus tetap hadir dari masa ke masa, generasi ke generasi,
dari satu iklim politik ke iklim politik lainnya. Buku tersebut memang
menjadi jawaban tentang bagaimana sebuah karya sastra bisa dilahirkan
dari insiden dan proses kreatif. SGA menguliti satu demi satu penciptaan
beberapa cerpen, sambil diselingi dengan memoar dan karir
kewartawannya. Ada satu esai lagi yang lumayan menarik perhatian saya,
yaitu esai yang berisi manuskrip pidato SGA saat menerima penghargaan
dari Anugerah SEA Write Award. Bukan kata-kata semanis nektar
yang ia sampaikan, melaikan sebuah potret gamblang tentang penilaiannya
tentang 'pola' baca di negaranya -Indonesia.
“Saya
tidak pernah yakin, dan tidak pernah terlalu percaya, bahwa tulisan
saya dibaca orang. Saya berasal dari sebuah negeri yang resminya sudah
bebas buta huruf, namun yang bisa dipastikan masyarakatnya sebagian
besar belum membaca secara benar — yakni membaca untuk memberi makna dan
meningkatkan nilai kehidupannya. Masyarakat kami adalah masyarakat yang
membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk mengetahui
harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk
menengok hasil pertandingan sepak bola, membaca karena ingin tahu berapa
persen discount obral di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca subtitle opera
sabun di televisi untuk mendapatkan sekadar hiburan. Sementara itu,
bagi lingkaran eksklusif kaum intelektual di negeri kami, apa yang
disebut puisi, cerita pendek atau novel, barangkali hanya dianggap
mainan remaja saja. Dalam masyarakat semacam itu, apakah seorang
penulis masih ada gunanya? Apalagi seorang penulis dengan
gagasan-gagasan kecil seperti saya.”
Apakah seorang penulis masih ada gunanya? Kepala saya terbentur oleh pertanyaan itu.
Kemudian menyusul pertanyaan-pertanyaan lainnya yang ikut membentur kepala saya.
Semua
orang memang mudah sekali menyampaikan ide-idenya tentang sebuah
peristiwa, gejolak, polemik sosial, dan tentang solusi-solusi teoritis,
praksis maupun poiesis. Tetapi berapa banyak penulis yang akhirnya
berlapang dada untuk ‘memeram’ kembali ide-idenya itu? Berapa banyak
penulis menyampaikan antitesis terhadap tulisannya sendiri? Dan kembali
menyintesis ide-idenya dalam kematangan pikiran – tentu saja setelah
melalui proses ‘pemeraman’? Atau mungkin kita akhirnya hanya mampu
tercenung saat menyaksikan bahwa lebih banyak penulis yang akhirnya
begitu ngoyo dalam ketercakrawalaannya sendiri. Tanpa membuka diri untuk
melihat ketercakrawalaan manusia-manusia lain, kenyataan-kenyataan
lain, yang saya rasa masih amat begitu luas.
Dalam
iklim kebebasan pers sekarang, memang tidak ada lagi upaya
‘pembungkaman’ yang dibombardir oleh pemerintah. Jikapun ada, bentuk
pembungkaman tersebut adalah pemblokiran-pemblokiran situs yang dinilai
‘menyesatkan’. Saya memberi tanda kutip pada kata menyesatkan, ini karena perangkat pemerintah pun masih dalam kungkungan ketercakrawalaannya.
Atau
lebih frontal lagi, saya harus katakan bahwa, kini
‘pembungkaman-pembungkaman’ itu lebih banyak dilakukan oleh nurani
penulisnya sendiri.
Seperti yang ditulis SGA dalam esainya yang lain, “Dengan
begitu, yang tersisa dari seorang penulis hanyalah kejujuran dan
kebebasan. Kejujuran adalah moralitasnya, sedangkan kebebasan adalah
kondisi yang mutlak diperlukannya agar bisa bertanggung jawab kepada
sejarah.”
Sekali
lagi, yang tersisa dari seorang penulis adalah kejujuran dan kebebasan.
Kebebasan seorang penulis memang mudah dinilai dari setiap
tulisan-tulisannya. Tetapi kejujuran seorang penulis? Hanya dirinya dan
Tuhan lah yang tahu secara pasti.
Buku
ini membuat saya gamblang berkesimpulan bahwa, jika ada pekerjaan yang
paling berpotensi menyebarkan bualan-bualan, mungkin itu adalah
pekerjaan seorang penulis.
Ketika
kita dibungkam oleh nurani sendiri, mungkin saatnya melakukan
perlawanan terhadap ketidakjujuran itu sendiri. Seperti SGA yang
melakukan perlawanan terhadap atasan kerja yang menon-job-kannya dengan cara menyelundupkan fakta-fakta lewat fiksi.
Atau
belakangan, di tengah masyarakat yang sudah membaca (tetapi belum
benar-benar membaca), apa memang lebih menyenangkan untuk menyelundupkan
fiksi-fiksi ke dalam tulisan yang berbalut penyingkapan fakta? Dalam
era media yang hobi plintar-plintir ini (media pada akhirnya kembali
pada ideologinya masing-masing), sastra masih mungkin untuk menjadi
jalan keluar atas kebebasan... kebebasan melawan ketidakjujuran diri
sendiri –tentu saja. Dan ‘pemeraman ide’ ala SGA, saya kira bisa menjadi
solusi bagi penulis (atau bagi semua orang yang masih dibekali akal)
dalam dahsyatnya iklim sosial yang amat reaksioner ini.
Seperti yang disampaikan SGA dalam esainya, “Jangan terlalu percaya saya kepada saya.”
Saya pun ingin menghimbau hal serupa, “Jangan terlalu percaya kepada tulisan ini.”
Depok, 12 November 2016
diazsetia, dengan tubrukan ide-ide di kepalanya yang menunggu untuk dilahirkan
(baca juga artikel saya tentang pensil dan ide: Ide dan Kreativitas dalam Lintasan Zaman)
(baca juga artikel saya tentang pensil dan ide: Ide dan Kreativitas dalam Lintasan Zaman)
Tidak ada komentar