Catatan Dari Sudut TPA ‘Plus-plus’ Gerem
Ada
orang-orang yang tergerak untuk melakukan perubahan besar.. atau
katakanlah tindakan revolusioner (kita merujuk definisi revolusioner ala
KBBI, ya), karena buah dari kegelisahannya. Kegelisahan yang
berkecambah lagi menjadi ide-ide yang mesti diwujudkan sebagai bentuk
dari tanggung jawab sosial. Kegelisahan yang tentu bukan datang
tiba-tiba seperti ilham, melainkan akumulasi atas hasil ‘pembacaan’
terhadap realitas sosial, yang juga dipengaruhi oleh buku-buku bacaan,
hasil pertukaran pikiran dengan banyak kepala, maupun hasil
perenungan-perenungan atas kenyataan-kenyataan yang dialaminya sendiri
di lingkup keluarga.
Orang-orang seperti apa yang disebut Gie sebagai, “the angry young man”.
Sedikit banyak saya bisa ‘membaca’ dan paham dengan isi kepala
anak-anak muda model begini (tenang aja, saya juga masih muda kok,
hahahah), karena (dalam tingkatan tertentu) saya pun merasakan
kegelisahan dan kekompleksan pikiran yang sama. Saya pasti bertanya ke “the angry young man” yang telah melakukan sesuatu yang (setidaknya menurut saya) revolusioner, “Kenapa kepikiran melakukan ini/itu? Triggernya apa?”
dan memang jawabannya adalah angka-angka statistik tentang kemiskinan,
angka putus sekolah, tingkat pendidikan, seks bebas, angka pernikahan
(yang amat) dini, tingkat kriminalitas, dan ketimpangan lainnya. Atau
kalau bukan jawaban berupa angka-angka detail paling tidak jawabannya
adalah keprihatinan tentang kondisi di lingkungan sekitar, tentang
kekecewaan terhadap negara, yang tentu membuat sulit tidur dan sulit
menelan makanan.
Sehingga
menjadi wajar ketika kegelisahan akibat pikiran-pikiran kompleks
-memperhalus sebutan ‘rumit’- tersebut melahirkan dobrakan
gagasan-gagasan revolusioner di kepala mereka, yang tentu meminta untuk
segera diwujudkan. Begitulah kesimpulan awal saya, bahwa
tindakan-tindakan revolusioner selalu lahir dari pikiran-pikiran
revolusioner yang juga kompleks. Setidaknya sebelum saya bertemu dengan
seorang ibu yang merangkap sebagai penggagas dan pengajar (tunggal)
sebuah TPA ‘Plus-Plus’ di salah satu sudut Gerem, Cilegon. Nasib memang
selalu mempertemukan saya kepada orang-orang yang membuat saya malu
sendiri, hiks. Seminggu lalu, bisa dikatakan ‘kecelakaan’ juga alias
pertemuan yang sebelumnya sama sekali tidak saya rencanakan, pertemuan
dengan ibu pengajar itu cukup membuat saya mengubah kesimpulan saya,
bahwa… tindakan revolusioner tidak melulu lahir dari pikiran-pikiran
kompleks, bisa juga lahir dari pikiran-pikiran sederhana.
TPA
(Taman Pendidikan Al Quran) tersebut sebenarnya punya nama resmi, tapi
saya lupa namanya apa, dan gak catat juga, jadi mari kita sebut saja
“TPA Plus-plus”. Kunjungan kesana sebenarnya memang direncanakan Kak
Anaz atas informasi dari Teh Sumi, mereka itu satu almamater tingkat
Aliyah. Jadi aktor intelektuanya ya memang mereka berdua. Saya dan Kak
Jeni hanya ‘terjebak’, dengan modal modus liburan (dadakan).
Teh
Nur, perempuan penggagas TPA Plus-plus itu memulai mengajar pada tahun
2013 lalu di ruang tamu rumahnya. Meski saya sudah tau bahwa Teh Nur
bukan bagian dari “the angry young man” yang rumit-rumit itu, apa yang digagas Teh Nur cukup membuat saya tak dapat menahan diri untuk bertanya, “Kenapa kepikiran bikin ini? Awalnya idenya dari mana?”
Dan, kurang lebih Teh Nur menjawab, “Awalnya
ya saya cuma suka ngajarin anak tetangga aja, semakin lama semakin
banyak. Senang aja, terus dibuatkan ‘gubuk’ sama suami saya untuk TPA.
Padahal saya tidak pernah meminta dibuatkan bangunan seperti itu. Saya
senang aja ketika anak-anak bisa belajar hal lain selain ngaji.
Sederhana saja. Karena belum ada TPA yang kayak gitu kan, kebanyakan
belajar ngaji aja.”
Tak
ada jawaban mengenai angka-angka statistik tingkat putus sekolah,
tingkat pendidikan, kualitas pendidikan, maupun keprihatinan lainnya.
TPA Plus-plus yang revolusioner ini lahir dari isi kepala yang
sederhana. Sebuah kenyataan yang membuat saya lebih dari sekedar malu.
Bagi
saya gagasan mengenai TPA Plus-plus bisa dibilang revolusioner.
Bagaimana tidak? Persepsi umum tentang TPA yang khusus belajar
ngaji,dipatahkan oleh Teh Nur di kampungnya sendiri dengan membuka TPA
yang tidak hanya untuk belajar ngaji. Teh Nur sebagai penggagas
sekaligus pengajar tunggal, menjadikan TPA tersebut selain untuk belajar
baca tulis Al Quran, baca-tulis alfabet dan berhitung, juga sebagai
ruang untuk belajar keterampilan, bahkan untuk belajar public speaking,
pidato, baca puisi, dan drama.
“Saya pingin anak-anak punya keberanian. Berani tampil, berani bicara."
Kemudian
kenapa saya jadi ingat KH. Ahmad Dahlan, ya? Konsep belajar di surau
yang tidak membatasi belajar ngaji berpuluh-puluh tahun lalu digagas
oleh KH. Ahmad Dahlan lewat lembaga pendidikan Muhammadiyah. Obrolan
kami yang singkat dengan teh Nur, bagaimana ia menceritakan proses
belajar dan metode mengajar di TPA nya itu, membuat saya menyimpulkan
bahwa Teh Nur ini orangnya kreatif banget. Saya juga nebak pake metode
sotoylogi, bahwa Teh Nur pernah belajar tentang di bidang kependidikan.
Ternyata pas saya konfirmasi memang benar, Teh Nur lulusan PGSD di salah
satu kampus di Serang, setingkat D2. Namun apalah arti gelar..
sejatinya gelar itu kan cuma alas duduk, hahahah.
Teh Nur gambar sendiri sebagai buku penunjang belajar |
Pelajaran
kedua yang saya dapat di pertemuan dengan guru itu, adalah.. tentang
"hak pilih" kita untuk memilih pasangan hidup. Hak pilih tersebut
sungguh penting untuk dipergunakan sebaik-baiknya. Kita tidak pernah
bisa memilih dari orang tua dan latar belakang keluarga yang seperti apa
kita dilahirkan. Itu murni hak preogatif Allah. Seorang anak se-idealis
dan se-progresif apapun pikirannya, saya rasa jika dia dilahirkan bukan
dari orang tua yang mendukung ide-idenya (yang mungkin terkesan
‘gila’), kemungkinannya cuma dua hal, pertama anak tersebut harus sangat
sabar dalam mengubah mindset orang tuanya dan ini bisa jadi memakan
waktu yang tidak sebentar. Baru setelah berhasil mengubah mindset orang
tuanya dan mendapat dukungan dari orang tuanya, ia bisa mulai merintis
ide-ide gilanya itu. Kemungkinan kedua, anak tersebut jadi pemberontak
di keluarga, dan memilih mewujudkan ide-ide gilanya tanpa dukungan orang
tua. Kedua kemungkinan tersebut akan sama-sama membutuhkan proses yang
makan waktu, sehingga anak yang lahir dari orang tua yang
mendukung(ide-ide gila)nya pasti lebih cepat berkembang ketimbang anak
yang tidak lahir dari orang tua yang mendukungnya.
Tapi soal pasangan hidup,
saya pikir itu adalah murni hak pilih kita. Laki-laki memiliki hak
untuk memilih perempuan mana, dan perempuan memiliki hak untuk menerima
atau menolak pinangan laki-laki yang mana. Peluang untuk mendapat calon
pasangan hidup dengan karakter tertentu, saya pikir juga tergantung dari
lingkaran pergaulan kita. Arah hidup kita setelah menikah sebagian
besar akan ditentukan oleh karakter pasangan hidup kita dan bagaimana
pola hubungan kita dengan pasangan. Apakah bisa saling menyeimbangkan?
Atau sebaliknya, saling jomplang. Agus Salim saya rasa tidak akan
seperti seperti sosok yang sejarah catat jika bukan Zainatun yang
dinikahinnya. Sebaliknya, Zainatun juga tidak akan menjadi istri dengan
karakter sekeren yang kita tahu jika bukan Agus Salim yang ia pilih
pinangannya. Ini salah satu contoh yang saya bilang sebagai hubungan
yang saling menyeimbangkan. Termasuk Teh Nur. Berkali-berkali Teh Nur
bilang, bahwa ia bersyukur memiliki suami yang sangat proaktif mendukung
TPA Plus-plus. Mungkin gak akan ada TPA Plus-plus di Gerem, kalau Teh
Nur menikah bukan dengan laki-laki yang punya karakter seperti suaminya
sekarang. Saya pikir, Teh Nur telah mempergunakan ‘hak pilih’nya dengan
sebaik-baiknya.
“Jujur, disini belajarnya gak gratis, saya pungut biaya. Tapi misalkan ada yang gak bayar sampai berbulan-bulan, bahkan sampai 8 bulan, yasudah. Tidak apa-apa. Tidak saya tagih. Yang penting anaknya semangat belajar, mau belajar. Saya senang.”
Dan
tau berapa biaya belajar di tempat Teh Nur? 20.000 per bulan untuk
setiap anak. Silahkan kalkulasi sendiri berapa yang ia dapat setiap
bulan dengan jumlah murid 37 anak, dengan asumsi semuanya rutin tertib
membayar (meski kenyataannya banyak yang nunggak berbulan-bulan, tanpa
ditagih).
Teh Nur membagi 2 jadwal belajar sesuai kategori umur, lepas ashar dan lepas magrib. Tapi anak-anak terlalu semangat, biasanya jam 2 siang sudah datang ke TPA. Teh Nur tidak pernah melarang anak-anak untuk datang lebih cepat, diizinkannya anak-anak bermain dulu di TPA. Jadwal belajar setiap hari (Senin-Minggu), saking anak-anaknya semangat belajar. Minggu biasanya kelas digabung dan merupakan pelajaran ekstra. Di beberapa tanggal merah nasional pun tetap diadakan kegiatan belajar, lagi-lagi mungkin karena anak-anak disana merasa sedang tidak belajar, Teh Nur memang pandai mengemas suasana belajar seperti suasana bermain. Anak-anak kampung tetangga juga beberapa belajar di tempat Teh Nur, padahal disana sudah ada TPA juga.
Selain
mengajar di TPA nya sendiri, pagi hari sampai menjelang siang, ibu tiga
anak itu juga mengajar di PAUD dengan bayaran 300 ribu per bulan dan
dibayarkan setiap 3 bulan sekali (ada potongan sekitar 50 ribu). Selain
upah bulanan itu, Teh Nur juga mendapat upah harian dari PAUD sebesar
3000 per hari. Tapi kalau gak masuk sehari maka dipotong 15.000 per
hari. Ini gak sampai sih di logika saya, gimana mungkin bayarannya cuma
3000 ribu sehari tapi sekalinya gak masuk potongannya sampai 5x lipat
gitu?
Teh
Nur hanya memiliki sekotak dus buku-buku penunjang belajar anak-anak.
Dan kondisinya bagi saya sudah tidak layak guna, banyak coretan,
robekan, lusuh, banyak lipatan. Kalau saya dapat donasi buku yang
seperti itu biasanya langsung saya buang. Agak kaget, ternyata di
belahan Gerem, karena tak ada pilihan lain, Teh Nur masih menggunakan
buku-buku yang saya pikir tak layak itu. Termasuk buku-buku yang sering
dijual di bis-bis kota, yang harganya 5 ribu tiga, atau 10 ribu tiga,
yang saya pikir buku-buku seperti itu gak akan banyak gunanya. Tetapi di
tempat Teh Nur, buku-buku tersebut jadi ‘emas’ dan digunakan terus
menerus, meski kondisinya semakin seada-adanya.
Buku-buku yang sudah banyak tambalannya |
“Saya
mah begini saja, sederhana saja. Tidak pernah meminta, pakai yang ada
saja. Jika ada rejeki lebih saya alihkan keperluan TPA, jika sedang
tidak ada, yasudah, tidak meminta ke orang tua murid.” Begitu kata
Teh Nur mungkin setelah melihat bagaimana ekspresi kaget kami ketika ia
menunjukkan sekotak dus koleksi buku-buku penunjang itu.
Kedatangan
Kak Anaz kesana juga sekaligus untuk mengantar buku-buku titipan
donatur. Andai donaturnya ikut dalam kunjungan itu saya pikir ia akan
merinding juga sampai ke sumsum tulang. Karena Teh Nur ini berterima
kasih dengan sangat atas buku-buku tersebut. Senangnya bukan main.
Sampai ia bilang, “Buku-buku ini ada dalam doa saya. Ini kayak mimpi.”
Barakallahu
buat donatur, Teh Nur, Kak Anaz dan Teh Sumi sebagai penghubung.
Lagi-lagi saya dan Kak Jeni yang cuma ‘kecelakaan’ bisa berada di
tengah-tengah mereka, juga bersyukur bukan main bisa bertemu Teh Nur.
Kalau
perjalanan ke Desa Literasi Cinde di minggu sebelumnya saya sebut
sebagai “Wisata Rohani”, maka pertemuan dengan Teh Nur di Sabtu lalu
saya sebut saja sebagai “Pencerahan Batin”. Karena memang sukses
mencerahkan batin saya yang gelap ini, hahahaha.
Hari
ini dalam ingatan saya, saya masih merekam suasana sudut TPA Plus-plus
itu. Bangunan yang luasnya mungkin 3x3 m yang disebut Teh Nur sebagai
‘gubuk’. Sebenarnya itu bukan gubuk, karena dibangun secara permanen,
tembok semen tanpa cat. Hanya ada papan tulis kecil disana. Menyadarkan
saya bahwa sesuatu yang kecil bukan berarti berimbas kecil juga.
Sudut TPA 'Plus-plus' dengan papan kecilnya |
Di
kota, kita mungkin sering menemukan lembaga pendidikan yang menawarkan
model belajar ngaji plus-plus seperti apa yang digagas Teh Nur. Di kota,
dengan konsep belajar seperti itu, kamu tinggal pilih aja mau yang
bayarannya berapa ratus ribu atau berapa juta per bulan? Yap,
kapitalisasi pendidikan. Tapi apa yang dilakukan Teh Nur, telah
mematahkan konsep kapitalisasi pendidikan.
Kesempatan
untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas adalah hak semua anak,
baik di kampung maupun di kota, dan hal itu tidak ada hubungannya dengan
harga. Tinggal bagaimana kita mampu untuk membebaskan diri
selapang-lapangnya dari keserakahan.
(Tambahan : Kak Anaz konon akan menggagas penggalangan donasi untuk jalan-jalan anak-anak didiknya Teh Nur. Kita tunggu aja pengumuman resminya, ya)
***
Depok, 7 April 2018
Di dalam kamar yang sesak oleh perenungan
Tidak ada komentar