Antara Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh: Sebuah Refleksi
Dari Sebuah Esai Milik Katrin Bandel
Gak
banyak buku yang walau belum beres saya baca tapi udah gatel pengen
ngulas. Dari yang sedikit itu, salah satunya adalah kumpulan esai karya
seorang Indonesianis, Katrin Bandel, judulnya "Sastra, Perempuan, Seks
(Jalasutra, 2001). Karena memang belum selesai sampai akhir halaman,
saya mau cerita dulu tentang salah satu esai yang membuat saya sangat
terkesan... "Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh", dengan keterangan judul
"Sebuah Intertekstual Pascakolonial".
Ini
keren banget, si penulis secara cermat menelanjangi perbedaan dua tokoh
"Nyai" dalam dua cerita sastra yang berbeda. Nyai Dasima, tokoh ciptaan
G. Francis dalam buku "Tempoe Doeloe: Antalogi Sastra Pra-Indonesia
(1982). Dan Nyai Ontosoroh, yang lebih familiar di telinga kita, ciptaan
Pram dalam Bumi Manusia (1980).
Nyai
Dasima dan Nyai Ontosoroh meskipun sama-sama gundik, tapi beda rasa.
Nyai Dasima, menghayati nasib sebagai gundik sebatas menjadi "boneka".
Ia membatasi diri untuk belajar keterampilan-keterampilan yang hanya
dibutuhkan oleh tuannya (tentu saja seputar pekerjaan domestik). Ia pun
menilai bahwa uang atau harta apapun yang ia terima dari tuannya itu
adalah sebagai “pemberian” seorang tuan kepada gundiknya.
Sampai
suatu hari, ia dijebak oleh seseorang yang menyusupkan kesadaran bahwa
menjadi gundik bukannya jalan hidup yang benar. Hasutan tersebut
memiliki maksud agar Nyai Dasima pensiun menjadi gundik, lalu menikah
dengan seorang yang hanya ingin menipunya. Sebagai "bekas" gundik tentu
saja Nyai Dasima memiliki harta simpanan yang tidak sedikit. Akhir
tragis menimpa Nyai Dasima, karena kepolosannya sendiri: mudah saja
terhasut. Cerita tentang Nyai Dasima hanya saya simak dari paparan
Katrin dalam esainya, saya belum pernah baca buku "Tempoe Doeloe:
Antologi Sastra Pra-Indonesia".
Lain
lagi dengan Nyai Ontosoroh (saya memang sangat ngefans sama Nyai ini),
ia menghayati hidup sebagai gundik lebih dari sekadar menjadi boneka
yang dengan cuma-cuma menerima harta dari tuannya. Ia menganggap bahwa
apa-apa yang ia terima dari tuannya adalah sesuatu yang ia dapatkan
karena bekerja, atas upahnya, atas usahanya. Bukan pemberian semata.
Perspektif ini sederhana sekali, tapi buat saya penting banget. Ia tidak
sebatas belajar keterampilan-keterampilan demi memenuhi kebutuhan
tuannya. Ia memperkaya diri dengan banyak keterampilan lain, salah
satunya perniagaan.
Nyai
Ontosoroh memiliki kesadaran, bahwa menjadi gundik bukanlah jalan hidup
yang meski dilakoni seumur hidup. Suatu saat ia harus berlepas diri
dari peran itu. Dan karena kesadaran tersebutlah, ia menyiapkan dirinya
sendiri untuk bisa mandiri, kelak tidak bergantung pada siapapun.
Menjadi gundik adalah kesementaraan saja. Dan ia sadar, ia harus
mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan buruk. Dan benar saja, ia
mampu hidup mandiri ketika lepas dari tuannya -yang justru menjadi
bangkrut-.
Dalam
esai tersebut, Katrin ingin menekankan perbedaan yang sangat kontras
antara tokoh dari karya sastra terbitan Balai Pustaka dan di luar Balai
Pustaka. Nyai Dasima adalah tokoh yang lahir lewat Balai Pustaka,
penerbit yang menurut Heinschke (1993), bisa menerbitkan buku atau
mengedit buku sesuai dengan kepentingan kolonial/imperialis. Sedangkan
Nyai Ontosoroh, tokoh ciptaan Pram, yang diterbitkan di luar Balai
Pustaka, sehingga lebih independen. (Silahkan simpulkan sendiri maksud
dari penekanan ini.)
Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh : Refleksi Sumber Kesadaran
Bagi
saya, poin penting dalam perbandingan tersebut adalah… sumber
kesadaran. Kesadaran Nyai Dasima soal nasib menjadi gundik bukan nasib
yang layak dijalani sepanjang hidup, adalah kesadaran yang "ditanamkan"
oleh si penghasut. Sementara kesadaran Nyai Ontosoroh dalam konteks yang
sama, justru lahir dari dirinya sendiri.
Sejauh
mana kesadaran yang "ditanamkan" oleh orang lain kepada diri seseorang
akan bertahan? Ini yang membuat saya selama ini lebih suka melihat orang
lain yang meraih kesadarannya sendiri dengan bekal-bekal yang ia punya.
Apa yang kita lakukan semestinya adalah "merangsang" kesadaran orang
lain: membukakan sedikit lubang-lubang di permukaan untuk kemudian
menambah rasa penasaran agar digalinya sendiri. Bukan justru
"menanamkan" kesadaran versi kita kepada orang lain.
Biarkan
orang lain menghimpun bekal-bekalnya sendiri, untuk kemudian
menyimpulkan sendiri.. dan meraih kesadaran yang tumbuh perlahan dalam
dirinya sendiri. .. sebuah kesadaran paripurna dan otentik. Karena
itulah yang lebih HQQ, Mylov~ Termasuk soal si dia, jika kamu rasa hanya
kamu yang bisa mengimbanginya (namun dia belum sadar juga), tak perlu
memaksakan untuk menanam kesadaran itu, berilah dia kebebasan untuk
berproses meraih kesadarannya sendiri (ini contoh konteks yang
menyimpang, hahahaha.)
Apapun
hidup yang kita jalani hari ini, seburuk apapun, sejauh apapun dengan
hidup yang ideal versi kita, hari ini adalah hari ini. Hari ini bukanlah
selamanya. Hari-hari ke depan adalah hari yang mesti kita tebus dengan
kematangan strategi. Ada banyak kemungkinan-kemungkinan, yang tidak
berhenti pada kungkungan kenyataan hari ini. Seperti Nyai Ontosoroh,
yang bahkan bisa lepas dari “kegundikannya”.
Dan
terkhusus untuk perempuan, menjadi Nyai Dasima atau Nyai Ontosoroh
adalah pilihan atas kesadaran kita: menjadi perempuan dengan karakter
polos yang gampang saja ”diwarnai”...atau menjadi perempuan yang berani
melepaskan diri dari kungkungan batas-batas norma sosial?
Tidak ada komentar